Mengapa perempuan menempatkan dirinya sebagai object? Vol 1

Bukan lagi merupakan perkara yang tersembunyi, bahwa semakin hari, fakta lebih banyak memperlihatkan bahwa perempuan justru lebih rela dirinya menjadi korban (object). 

Contoh: ketika saat ini sangat mudah memiliki kekaguman kepada laki-laki yang sholeh, pintar dan ragam kriteria yang hadir dalam diri laki-laki, maka ketika melihat perempuan lebih sering terbawa oleh perasaan dan pemikirannya sendiri. Tidak jarang kaum perempuan tidak hanya mengangumi sosok laki-laki tersebut, tapi yang lebih parah adalah sampai kepada membayangkan si sosok tersebut menjadi pasangannya. Berharap suatu saat akan di lamar, dan kemudian mereka menikah lalu bahagia merayakan cinta.

Sebuah pandangan dulu hingga kini terus ada mengenai stigma tentang perempuan: Perempuan otaknya dangkal, tidak mampu memainkan logikanya sebab lebih mendominasi perasaanya. Maka melihat keadaan di atas, lalu mengaitkannya dengan stigma yang terus berlanjut hingga kini tersebut semakin menunjukkan kebenaran atas stigma yang sebenarnya belum sepenuhnya benar. Tapi melihat keadaan dan sikap perempuan saat ini seolah begitu membenarkan stigma tersebut.

Maka kita sebagai perempuan harusnya menolak stigma yang ada.

Perempuan  tidak sedangkal itu pemikirannya. 

Perempuan tidak sereceh itu perjalanan hidupnya.

Memang saat ini perempuan ada banyak perempuan yang tidak  menghargai dirinya dengan melakukan perkara-perkara yang dapat menurunkan izzah (kemuliaan diri) dan iffahnya (menahan diri) serta muru'ah (kehormatan diri) sebagai seorang perempuan yang berharga.

Dear perempuan, kini jumlah kaum perempuan semakin banyak. Banyak bagaikan buih dilautan. Maka sudah saatnya menetukan, apakah kita ingin menjadi perempuan bagai buih dilautan (banyak tapi tidak memiliki fungsi dan kualitas?) atau ingin menjadi perempuan yang punya kualitas dan memiliki pemikiran yang mampu menjadikan perasaannya dapat berjalan beringan dengan logika yang terus menerus diasah dengan membaca, mengkaji, menelaah serta menganalisis?. 

Pilihannya ada ditangan kita (perempuan): menjadi korban? atau pencetus perubahan gemilang?

Komentar